KEBERADAAN
surau dan atau sumbangsihnya bagi kehidupan sosial-keagamaan
masyarakat Minang, tak bakal tergerus dari ingatan. Surau pernah
berperan besar lagi sangat signifikan. Selain sebagai tempat beribadah,
ia menampung kakek-kakek uzur tiada berdaya, para duda, musafir atau
anak dagang. Apalagi anak-anak serta remaja yang hendak menuntut ilmu:
dunia dan akhirat.
Di surau,
seorang anak terutama remaja putra akilbalig tidak hanya diwajibkan
mengaji-mendalami Al-Quran atau seluk-beluk agama Islam, tetapi juga
dibekali ilmu bela diri pencak silat dan kesenian. Kecuali itu, mereka
pun dilatih menyimak dan menuturkan berbagai pengalaman sehari-hari,
serta mendiskusikan permasalahan hidup dan kehidupan.
Demikianlah
arti keberadaan surau, setidaknya, pada beberapa dekade akhir abad XIX
hingga penggalan kedua abad ke-20. Tak heran kalau dari surau kemudian
muncul banyak tukang kaba yang piawai berkisah, yang
keprofesionalannya diperhitungkan di berbagai ajang seperti acara alek
nagari, pesta perkawinan, khitanan dan juga di stasiun-stasiun kereta
api atau di lepau-lepau kopi. Artinya adalah, surau turut serta
mengukuh-kembangkan tradisi sastra(wan) lisan Minangkabau. Bahkan ada
yang mengklaim, bahwa benang merah peralihan dari sastra lisan ke
sastra tulis pada etnik yang tak punya aksara ini, bisa ditelusuri
melalui sejarah pertumbuhan pendidikan surau. Orang-orang surau, pada
kurun tertentu, dengan gemilang berhasil membudidayakan huruf Arab
menjelma menjadi aksara Arab-Melayu untuk mengkonkretkan buah pikiran
mereka dalam bentuk tulisan atau buku. Dan sebagaimana diketahui,
setelah mengenal huruf Latin, sederetan panjang (nama) pengarang asal
daerah ini mendominasi paling tidak tiga dasawarsa awal perjalanan
kesusastraan Indonesia modern.
Namun
sesungguhnyalah, hampir semua tokoh kenamaan di berbagai bidang
mengawali segalanya di dan dari surau. Sebutlah para intelektual
(ekonom, ahli hukum, politikus, jurnalis, sejarawan, negarawan maupun
diplomat ulung) sekaliber H Agoes Salim, Bung Hatta, Moh. Yamin, Tan
Malaka, Natsir, Hamka dan lain sebagainya. Demikian pula tokoh
pembaharu Sumatera Thawalib seperti H Abdul Karim Amrullah alias Inyiak
Rasua (dikenal sebagai Doktor HC pertama di Indonesia) dan Zainuddin
Labay El Yunusiy, atau Abdullah Ahmad pendiri perguruan Adabiah
ketiganya murni berpendidikan surau dan, untuk sekian lama mengajar
atau berkiprah di Surau Jambatan Basi Padang Panjang.
Pendek
kata, surau senantiasa membuka pintu selebar-lebarnya buat semua
orang. Surau berhasil menyalurkan aspirasi para orangtua, menjadi
tumpuan harapan masyarakat Minang. Agaknya, tak ada urang awak yang tak
pernah bersentuhan dengan surau. Ironinya, kenapa tradisi kesurauan
yang terang-terangan bermanfaat dan berhasil melahirkan sejumlah figur
kharismatik bertaraf nasional mau pun internasional itu sirna. Tidakkah
seyogianya dihidupkan kembali?
Tak berlebihan
kiranya kalau muncul kesadaran dan pemikiran yang mengusik seperti itu,
yang kemudian mengental setelah melihat kenyataan semakin minimnya
orang Minang yang berprestasi dan sukses di forum-forum bergengsi lagi
menentukan, semakin tipisnya pemahaman beragama dan kian merosotnya rasa
serta nilai-nilai keminangkabauan di tengah masyarakat.
Tetapi menurut
hemat saya, keprihatinan orang Minang saat ini takkan selesai dengan
hanya mendengung-dengungkan tradisi kesurauan melalui wacana
“pendidikan bernuansa surau”. Dengan kata lain, idiomatik “kembali ke
surau” yang beberapa waktu berselang santer diteriakkan sebagian orang
Minang (baca: para sentimentalis-konservatif) memang tidak lebih dari
semacam jargon yang kini sudah kehilangan gaung.
Seperti dan
atau bagaimana surau dimaksud diprogramkan belum jelas formulasi dan
duduk-tegaknya. Selintas saya memfantasikan sebuah surau yang sinkron
dengan kekinian: dilengkapi fasilitas modern seperti perpustakaan,
sarana dan prasarana olah raga, peralatan musik, televisi, komputer
serta P(lay)-(S)tation yang game-gamenya bernuansa Islam(i), sehingga
anak-anak maupun remaja betah.
Di samping
itu, kalau kita mencoba membolak-balik lembaran sejarah masa lalu bangsa
ini, akan ditemui sesuatu yang mencengangkan, yang bisa jadi dicap
sebagai tesis atau analisis yang harus dibuktikan kebenarannya.
Politik atau
sistem pemerintahan yang diterapkan kolonialisme Belanda selama
berabad-abad begitu membelenggu bangsa Indonesia, termasuk etnik
Minangkabau. Dan ini, lambat-laun membuat kalangan bernalar tinggi
sadar, bahwa kalau ingin maju dan merdeka kita musti berani menentukan
sikap. Dalam segala hal kita tidak perlu tergantung pada penguasa yang
senantiasa membatasi ruang gerak kita di tanah air sendiri, terutama hak
untuk memperoleh pendidikan (formal).
Nah, pada
gilirannya, mereka yang memahami pentingnya pendidikan dan ilmu
pengetahuan pun melirik dan berbondong-bondong mendayagunakan surau,
yang kala itu merupakan salah sebuah (atau mungkin satu-satunya)
alternatif paling aman. Surau toh merupakan lembaga agama dan produk
budaya asli yang relatif steril dari campur tangan pemerintah Hindia
Belanda.
Maka dengan
demikian jelaslah, pada satu kurun waktu tertentu orang-orang yang
sadar, cerdas dan bersemangat pergi dan menimba ilmu di surau-surau.
Komunitas surau bukan hanya terdiri dari orang-orang yang
“berputus-asa” belaka lagi. Pamor surau tidak identik lagi dengan orang
tua uzur, para duda, remaja tanggung, orang kemalaman dan kelusuhan
pakiah (santri) yang memakai peci yang sudah memudar, baju gunting cina,
berkain sarung, kemana-mana menyandang buntil(an) beras dan kotak
wakaf, berujar membungkuk-bungkuk dan tidak berani menatap mata lawan
bicara yang kelihatan lebih “wah”.
Jadi, bicara
tentang “kejayaan (pendidikan) surau” adalah menyangkut situasi dan
kondisi zaman semata, yang tidak boleh tidak menuntut konsekuensi logis
dalam hal memilih yang dirasa paling baik dan efektif.
Sekadar
berargumen, setelah bangsa Belanda angkat kaki dari negeri ini orang
Minang seolah-olah “membelakang” ke surau. Para orangtua, dan begitu
pula dengan anak-anak tergolong pintar punya kecenderungan
kemodernan lahiriah dalam bentuk mengutamakan pendidikan yang
dilaksanakan di gedung-gedung mentereng yang berorientasi ke dunia
belahan Barat yang, walau bagaimanapun, memang lebih menjanjikan dan
menawarkan harapan-harapan (bersifat) duniawi.
Dan dewasa ini
sosok surau mengedepan memperlihatkan wujud dan corak tersendiri. Di
pedesaan surau sering dimanfaatkan oleh para remaja yang suka
begadang. Sementara di wilayah perkotaan, surau pada umumnya ditangani
garin alias “mahasiswa praktik” yang sedang menuntut ilmu di perguruan
tinggi berbasis (agama) Islam untuk kemudian hengkang setelah meraih
gelar sarjana guna mencari pekerjaan yang dipandang lebih baik.
Namun, kendati
surau seolah tidak bisa lagi memposisikan diri sebagai sentra
sosio-kultural berorientasi keagamaan, satu hal, surau tetap merupakan
tempat beribadah: sembahyang dan mengaji.
0 komentar:
Posting Komentar