Sebagaimana diketahui bahwa pembagian sistem pemerintahan yang ditetapkan oleh dua orang datuk yang bernama Datuk Ketamnggungan dan Datuk Perpatih nan Sabatang, terdiri dari dua kelarasan yang dikenal dengan sebutan Lareh nan Duo, yaitu : Bodi dan Chaniago. Koto dan Piliang. Kemudian dalam perjalanannya muncul sistem kelarasan yang dikenal dengan kelarasan nan panjang.
Menururut Drs, Mid Jamal dalam buku Menyigi Tambo Alam Minangkabau, bahwa ” Lareh ” atau Laras artinya ” jatuh”. Lareh ini dikiaskan sebagai pola pikiran yang jatuh dan tercipta dari Dua orang Datuk itu. Dua orang datuk ini bersaudara seibu dan berlainan ayah. ( Simak tersendiri siapakah kedua orang datuk ini, yang mana kisah kedua orang ini terdapat dalam berbagai macam versi- pen).
Kami menganalogikan bahwa pembentukan sistem kelarasan ini tidak jauh berbeda dengan proses norma-norma sebagai yang kita kenal didalam teori ilmu hukum. Lareh tidak lain dari pemberlakukan tata aturan bermasyarakat. Tata aturan yang harus disepakati oleh masyarakat itu menciptakan kesejahteraan, keadilan kemakmuran bagai masyarakat.
Awal perkembangan masyarakat itu, ada di Nagari Pariangan, sebagai negeri tertua pada masa kehidupan nenek moyang minangkabau, yang bernama ” datuk Sri Maharaja diraja ” (demikian penamaan yang diberikan kepadanya oleh si Tukang Kaba – pen). Kelompok masyarakat yang berasal dari Nagari Pariangan itu meluas hingga Padangpanjang. Kemudian kita kenal pula Luhak nan Tigo.
Mengapa dusun tua itu disebut ” pariangan ” – adalah perumpaan tempat pengembalian roh sesudah mati atau tempat asal mulanya Dapunta Hyang. Demikian menurut uraian Drs. Mid Djamal dalam buku ” menyigi Tambo Alam Minangkabau. Berbeda halnya dengan Datuk Sangguno dirajo, yang menguraikan bahwa ” Nageri Pariangan “ ini adalah suatu negeri yang aman dan makmur dimana masyarakatnya bergembira dan ber – riang-riang.
Jika ditelisik pencitraan nenek moyang itu, maka semakin banyak isi tambo yang berbeda – beda satu sama lainnya.
Dimata penulis, hanya ada satu penamaan yang sama tentang pencipta dua kelarasan ini, yaitu Datuk Ketamanggungan dan Datuk Perpatih nan Sabatang. Mengapa dua orang datuk ini menciptakan sistem kelarasan ini. Apa manfaatnya bagi masyarakat kala. Beberapa alasan yang dapat kita simpulkan adanya sistem kelarasan ini sebagai sistem kemasyarakatan, adalah :
1. Tidak ada satu kesepakatan yang diproleh dari kedua orang datuk itu ketika menyelesaikan problema kemasyarakat dan suku – suku yang sudah mengalami perkembangan kala itu.
2. Berangkat dari tambo yang berkembang dalam masyarakat Minangkabau, maka Datuak Katemanggungan mengembangkan sistem hukum (lareh) Koto Piliang, dan Datuak Prapatiah Nan Sabatang mengembangkan lareh Bodi Caniago.
Lareh Koto Piliang lebih bercirikan “aristokratis”, dimana kekuasaan tersusun pada strata-strata secara bertingkat dengan wewenangnya bersifat vertikal, sesuai dengan pepatahnya manitiak dari ateh (menetes adri atas). Sementara Lareh Bodi Caniago bercirikan “demokratis” dimana kekuasaan tersusun berdasarkan prinsip egaliter dengan wewenang bersifat horizontal, sesuai dengan pepatahnya mambusuik dari bumi (muncul dari bawah).
Secara struktural, ajaran kedua Lareh ini lah yang akhirnya mempengaruhi (constrains) pola kehidupan sosial-politik masyarakat Minangkabau di kemudian hari. Perbedan-perbedaan sering menjadi pemicu persaingan dan pertentangan diantara kedua datuak ini dalam memimpin Minangkabau pada waktu itu.
Sebagaiman di uraikan dalam buku yang ditulis oleh Dobbin, 1983 dan Djamaris, 1991, Ketika ayah dan ibu mereka (Cati Bilang Pandai dan Indo Jalito) meninggal dunia, terjadilah konflik di Limo Kaum. Masyarakat Minangkabau kuno kala itu terbelah dalam dua sistem kemasyarakatan dan disisi lain juga akhirnya membelah wilayah Minangkabau kedalam dua aliran tersebut, yang dikenal dengan istilah luhak (Batuah, 1966). Secara struktural, dua lareh yang diciptakan duo datuak ini lah yang kemudian menjadi landasan dasar kehidupan sosial-politik masyarakat Minangkabau, sampai sekarang ini (Maarif, 1996).
Perbedaan antara dua lareh ini menimbulkan persaingan satu sama lain. Bahkan menurut Christine Dobbin, persaingan tersebut telah terjadi sejak dua Datuak-Datuak Katamenggungan dan Datuak Prapatiah nan Sabatang — mencetuskan adat lareh itu sendiri. Dimana letak kedua Kelarasan itu. Ini ditandai dengan persaingan antara desa Lima Kaum yang menganut adat lareh Bodi Caniago dengan desa Sungai Tarab yang menganut adat lareh Koto Piliang, yang digambarkan Dobbin sampai terjadi “perang batu” dan “perang bedil”.
Laras (lareh) adalah dasar pemerintahan menurut Minangkabau kuno. Kemudian menjadi sistem hukum adat yang berlaku diseluruh alam minangkabau. Ada dua kelarasan di Minangkabau, yaitu Kelarasan Bodi Caniago dan Kelarasan Koto Piliang.
Beriku ini ada perbedaan antara kedua kelarasan itu, yaitu :
Bodi Caniago |
Koto Piliang |
Dikembangkan dan dipimpin oleh Datuak Parpatiah Nan Sabatang | Dikembangkan dan dipimpin oleh Datuak Katumangguangan |
Berdaulat pada rakyat, diungkapkan: putuih rundiangan dek sakato rancak rundiangan disapakati kato surang dibulek-i kato basamo kato mufakat saukua mako manjadi, sasuai mako takanak tuah dek sakato, mulonyo rundiang dimufakati di lahia lah samo nyato, di batin buliah diliek-i |
Berpusat pada pimpinan, diungkapkan: nan babarih nan bapaek nan baukua nan bacoreng titiak dari ateh, turun dari tanggo tabujua lalu, tabalintang patah |
Semboyannya mambasuik dari bumi
|
Semboyannya titiak dari ateh |
Bersifat demokratis | Bersifat otokratis |
Pengambilan keputusan mengutamakan kata mufakat. Keputusan diambil berdasarkan kesepakatan bersama, bukan hanya berasal dari pimpinan saja, akan tetapi masyarakatnya ikut dilibatkan. | Pengambilan keputusan berpedoman pada kebijaksanaan dari atas. Segala bentuk keputusan datangnya dari atas. Masyarakat tinggal menerima apa yang telah ditetapkan. |
Penggantian gelar pusaka secara hiduik bakarelaan, artinya penghulu bisa diganti jika sudah tidak mampu lagi melaksanakan tugasnya. | Penggantian gelar pusaka secara mati batungkek budi, artinya penghulu baru bisa diganti jika sudah meninggal |
Pewarisan gelar disebut gadang bagilia, artinya gelar penghulu boleh digilirkan pada kaum mereka walau bukan saparuik, asalkan melalui musyawarah adat | Pewarisan gelar disebut patah tumbuah hilang baganti, artinya gelar penghulu harus tetap di pihak mereka yang saparuik (sekeluarga). |
Rumah gadang lantainya rata saja dari ujung sampai pangkal | Rumah gadang mempunyai anjung pada lantai kiri dan kanan |
Menurut tambo, daerah kebesarannya:
§ Tanjuang Nan Ampek 1. Tanjuang Alam 2. Tanjuang Sungayang 3. Tanjuang Barulak 4. Tanjuang Bingkuang
2. Lubuak Simauang 3. Lubuak Sipunai Susunan kebesaran ini dinamakan Lareh Nan Bunta. |
Menurut tambo, daerah kebesarannya:
§ Langgam Nan Tujuah 1. Singkarak – Saningbaka 2. Sulik Aia – Tanjuang Balik 3. Padang Gantiang 4. Saruaso 5. Labutan – Sungai Jambu 6. Batipuah 7. Simawang – Bukik Kanduang § Basa Ampek Balai 1. Sungai Tarab 2. Saruaso 3. Padang Gantiang 4. Sumaniak Susunan kebesaran ini dinamakan Lareh Nan Panjang. |
Kekuasaan penghulu sama di nagari, disebut pucuak tagerai. | Penghulunya bertingkat-tingkat, disebut pucuak bulek, urek tunggang.
Tingkatannya adalah panghulu pucuak, panghulu kaampek suku, dan panghulu andiko. |
0 komentar:
Posting Komentar